Saat situasi ekonomi sulit seperti sekarang ini, bagi kebanyakan orang kewajiban membayar angsuran kredit terasa sangat memberatkan. Tak sedikit kemudian nasabah mengalihkan mobil atau sepeda motor miliknya yang masih dalam masa kredit kepada pihak lain. Tanpa mengindahkan risiko over kredit yang bisa timbul di kemudian hari.
Ada berbagai alasan yang membuat orang melakukan over kredit atau alih kredit kendaraan bermotor. Seperti karena membutuhkan dana segar atau karena tidak sanggup lagi membayar cicilan kredit perbulan, sehingga memilih untuk mengalihkan kredit kendaraan bermotor tersebut kepada pihak lain yang dianggap mampu membayarnya hingga lunas.
Sebenarnya, kegiatan over kredit kendaraan bermotor adalah hal yang lumrah dilakukan selama masa kredit. Hanya saja, apabila praktik tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan dan seizin pihak perusahaan multifinance alias di bawah tangan alias ilegal. Maka praktik itu selain berpotensi merugikan berbagai pihak, yang pastinya melanggar hukum.
Over kredit kendaraan bermotor di bawah tangan, tidak serta-merta menghapuskan kewajiban konsumen awal (penjual) untuk melunasi utangnya kepada perusahaan multifinance.
Andaikan pihak ketiga tidak membayar angsuran dan kemudian menghilang (skip), Perusahaan pembiayaan (multifinance) akan tetap menagih pembayaran ke konsumen awal. Karena perjanjian pembiayaan sejak semula dilakukan oleh perusahaan multifinance dengan konsumen awal.
Dengan kata lain, konsumen awal akan tetap bertanggung jawab atas cicilan pembayaran kendaraan, walaupun kendaraan bermotor tersebut telah berpindah tangan kepada pihak ketiga.
Over kredit yang dilakukan secara ilegal juga akan menimbulkan masalah ketika pihak ketiga (pembeli baru) mau mengambil BPKB. Perusahaan multifinance tidak akan menyerahkannya, karena nama yang tertera di BPKB masih nama pemilik yang pertama.
Begitupun dengan layanan asuransi, klaim asuransi tidak berlaku jika terjadi kecelakaan dan sebagainya.
Lalu, bagaimana dengan risiko over kredit secara hukum? Nah, bagi siapa saja yang kedapatan menjual kembali atau over kredit kendaraan bermotor secara tidak resmi. Maka perusahaan pembiayaan dapat melaporkan konsumen ke kepolisian (secara pidana) dan menggugat konsumen (secara perdata).
Bagi penjual akan dikenakan pasal 372 KUHP tentang penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Ditambah lagi dengan jeratan sanksi pidana pasal 36 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dengan ancaman pidana paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 50 juta.
Baca juga: Pengertian Kredit, Unsur, Fungsi dan Jenis-JenisnyaTidak hanya penjual yang terancam hukuman, pembeli juga dapat terjerat. Bisa dikenakan pasal 480 KUHP tentang penadahan dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Secara perdata, perusahaan multifinance bakal menggugat konsumen atas dasar perbuatan melawan hukum pada pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi: “tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.
Perusahaan multifinance dapat menggugat konsumen atas dasar wanprestasi perjanjian, asalkan klausul mengenai larangan over kredit bawah tangan tertera pada klausul perjanjian pembiayaan.
Agar terhindar dari berbagai konsekuensi dan risiko jeratan hukum, ajukanlah proses over kredit kendaraan bermotor ke perusahaan pembiayaan secara resmi.
Memberitahu pihak multifinance atas rencana pengalihan kredit ke pihak lain yang akan melunasi sisa angsuran kredit. Dan selanjutnya mengikuti prosedur yang diisyaratkan oleh perusahaan multifinance.
Baca juga: Aturan Fidusia Dalam Pembiayaan Kendaraan Bermotor Perlu Diketahui