Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis aturan baru bagi industri jenis pembiayaan syariah yakni Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2019 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan, yang ditetapkan 26 Februari 2019 lalu.
Kebijakan ini merupakan penyempurnaan dari Peraturan OJK No. 31/POJK.05/2014 dan Surat Edaran OJK No. 48/SEOJK.05/2016.
Dengan terbitnya aturan terbaru ini diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan bisnis Perusahaan Syariah (Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha Syariah), serta menciptakan perusahaan pembiayaan yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif.
Poin-poin apa saja yang disesuaikan dan ditambahkan dalam peraturan terbaru tersebut? Berikut penjelasan selengkapnya.
Jenis Kegiatan Usaha dan Cara Pembiayaan Syariah
Penyelenggaraan kegiatan jenis pembiayaan syariah wajib memenuhi prinsip keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm, risywah, dan objek haram.
Jenis Kegiatan Usaha Meliputi:
Pembiayaan Jual Beli, adalah pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang melalui transaksi jual beli sesuai dengan perjanjian pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak
Pembiayaan Investasi, adalah pembiayaan dalam bentuk penyediaan modal dengan jangka waktu tertentu untuk kegiatan usaha produktif dengan pembagian keuntungan sesuai dengan perjanjian pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak.
Pembiayaan Jasa, adalah pemberian/penyediaan jasa baik dalam bentuk pemberian manfaat atas suatu barang, pemberian pinjaman, dan/atau pemberian pelayanan dengan dan/atau tanpa pembayaran imbal jasa (ujrah) sesuai dengan perjanjian pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak.
Pembiayaan Jual Beli dilakukan dengan menggunakan akad:
- Murabahah
- Salam
- Istishna’
Pembiayaan Investasi dilakukan dengan menggunakan akad:
- Mudharabah
- Musyarakah
- Mudharabah Musytarakah
- Musyarakah Mutanaqishoh
Pembiayaan Jasa dilakukan dengan menggunakan akad:
- Ijarah
- Ijarah Muntahiyah Bittamlik
- Hawalah atau Hawalah bil Ujrah
- Wakalah atau Wakalah bil Ujrah
- Kafalah atau Kafalah bil Ujrah
- Ju’alah
- Qardh
Akad Kafalah atau Kafalah bil Ujrah sebagaimana dimaksud diatas hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Syariah melalui gabungan dari beberapa akad.
Baca juga: Istilah-Istilah Dalam Pembiayaan SyariahKetentuan Uang Muka Pembiayaan Syariah Kendaraan Bermotor
OJK memperbolehkan perusahaan syariah untuk menerapkan uang muka atau down payment (DP) hingga 0 persen. Ketentuan DP 0 persen bersifat opsional bagi perusahaan syariah yang kondisi keuangannya sehat, dapat mengambil manfaatnya ataupun tidak mengambilnya. Berikut rinciannya:
Perusahaan syariah yang kondisi keuangannya sehat dan nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah (APB) Neto pembiayaan syariah lebih rendah atau sama dengan 1 persen, dapat menerapkan DP sebagai berikut:
- Kendaraan bermotor roda dua atau tiga, minimal 0 persen dari harga jual kendaraan.
- Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif dan non-produktif, minimal 0 persen dari harga jual kendaraan.
Perusahaan syariah yang kondisi keuangannya sehat dan nilai Rasio APB Neto pembiayaan syariah lebih tinggi dari 1 persen dan lebih rendah atau sama dengan 3 persen, wajib menerapkan DP sebagai berikut:
- Kendaraan bermotor roda dua atau tiga, minimal 5 persen.
- Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, minimal 5 persen.
- Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, minimal 10 persen.
Perusahaan syariah yang kondisi keuangannya sehat dan nilai Rasio APB Neto pembiayaan syariah lebih tinggi dari 3 persen dan lebih rendah atau sama dengan 5 persen, wajib menerapkan DP sebagai berikut:
- Kendaraan bermotor roda dua atau tiga, minimal 10 persen.
- Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, minimal 10 persen.
- Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, minimal 15 persen.
Perusahaan syariah yang tidak memenuhi kondisi keuangan yang sehat dan nilai Rasio APB Neto pembiayaan syariah lebih rendah atau sama dengan 5 persen wajib menerapkan besaran DP sebagai berikut:
- Kendaraan bermotor roda dua atau tiga, minimal 15 persen.
- Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, minimal 20 persen.
- Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, minimal 25 persen.
Perusahaan syariah yang mempunyai nilai Rasio APB Neto pembiayaan syariah lebih tinggi dari 5 persen wajib menerapkan besaran DP sebagai berikut:
- Kendaraan bermotor roda dua atau tiga, minimal 15 persen.
- Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, minimal 20 persen.
- Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, minimal 25 persen.
Batasan Insentif Pihak Ketiga
Sama halnya dengan pembiayaan konvensional, OJK juga mengatur tentang biaya insentif akuisisi pembiayaan syariah kepada pihak ketiga.
Perusahaan syariah dilarang memberi biaya insentif akuisisi pembiayaan syariah kepada pihak ketiga melebihi 17,5 persen dari nilai pendapatan yang akan diterima terkait dengan pembiayaan syariah untuk setiap perjanjian pembiayaan syariah.
Transparansi Kegiatan Usaha
Menyangkut soal transparansi, OJK menyatakan seluruh perjanjian pembiayaan antara perusahaan pembiayaan syariah atau perusahaan multifinance yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) dengan konsumen wajib dibuat secara tertulis.
Dan salinan perjanjian pembiayaan harus diserahkan oleh perusahaan syariah kepada konsumen selambatnya 3 bulan sejak tanggal perjanjian pembiayaan syariah.
Hal lain yang juga ditekankan oleh OJK ialah terkait dengan transparansi tingkat nisbah, margin, imbal jasa, denda (ta’zir), dan/atau ganti rugi (ta`widh).
Perusahaan syariah diwajibkan menjelaskan ilustrasi perhitungan pokok pembiayaan, tingkat nisbah, margin, dan/atau imbal jasa selama jangka waktu pembiayaan syariah serta ilustrasi pengenaan denda (ta’zir) dan/atau ganti rugi (ta`widh) kepada konsumen, bila konsumen wanprestasi sebelum penandatanganan perjanjian pembiayaan syariah.
Baca juga: Perusahaan Multifinance Syariah di IndonesiaKerja Sama Pembiayaan Syariah
OJK menegaskan, perusahaan syariah dapat bekerja sama dengan pihak lain melalui pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing).
Kerja sama wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip syariah.
Pihak lain tersebut adalah bank, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, lembaga keuangan mikro, perusahaan syariah, perusahaan fintech, perusahaan modal ventura, yang telah memperoleh izin usaha dan terdaftar di OJK.
Perusahaan syariah dilarang untuk melakukan kerja sama pembiayaan syariah dengan pihak lain melalui skema pembiayaan penerusan dengan jaminan (channeling with recourse) dan pembiayaan bersama dengan jaminan (joint financing with recourse).
Pemeliharaan dan Pengembalian Bukti Kepemilikan Atas Agunan
Untuk peningkatan perlindungan konsumen, OJK mewajibkan perusahaan syariah menyimpan dan memelihara agunan hingga perjanjian pembiayaan berakhir. Serta kewajiban pengembalian bukti agunan paling lambat 1 bulan sejak tanggal permintaan dari konsumen.
OJK juga melarang perusahaan syariah menggadaikan dan/atau menjaminkan bukti agunan kepada pihak lain.
Penarikan dan Penjualan Agunan
Masih terkait dengan perlindungan konsumen, OJK pun mengatur tentang penarikan dan penjualan agunan.
Eksekusi agunan oleh perusahaan syariah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Konsumen terbukti wanprestasi.
- Konsumen sudah diberikan surat peringatan, dan
- Perusahaan syariah memiliki sertifikat jaminan fidusia, sertifikat hak tanggungan, dan/atau sertifikat hipotek.
Eksekusi agunan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur masing-masing agunan.
Ketika terjadi eksekusi agunan, perusahaan syariah diwajibkan menjelaskan kepada konsumen informasi mengenai:
- Saldo aset produktif (outstanding principal) terutang
- Nisbah, margin, dan/atau imbal jasa pembiayaan syariah yang terutang
- Denda (ta’zir) yang terutang
- Ganti rugi (ta`widh) yang terutang, dan
- Mekanisme penjualan agunan dalam hal konsumen tidak menyelesaikan kewajibannya.
Perusahaan diwajibkan mengembalikan uang kelebihan dari hasil penjualan agunan melalui pelelangan umum maupun penjualan agunan di bawah tangan kepada konsumen dalam jangka waktu sesuai dengan perjanjian pembiayaan syariah.
Sumber Pendanaan Perusahaan Syariah
Hal lain yang diatur oleh OJK ialah terkait dengan sumber pendanaan perusahaan syariah. Pendanaan bisa diperoleh dari berbagai sumber, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah, yaitu:
- Melakukan penambahan Modal Disetor tidak melalui penawaran umum saham atau penambahan modal kerja bagi UUS.
- Menerima pendanaan dari lembaga pemerintah, bank, industri keuangan non-bank, lembaga, dan/atau badan usaha lain.
- Menerima pendanaan (pinjaman/qardh) subordinasi.
- Menerbitkan efek syariah melalui penawaran umum.
- Menerbitkan sukuk tidak melalui penawaran umum.
- Melakukan sekuritisasi aset produktif sesuai prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.
- Memberikan pendanaan kepada UUS dari perusahaan pembiayaan induknya.
Semoga ulasan lengkap dan panjang mengenai poin-poin penting kegiatan usaha dan jenis pembiayaan syariah di atas membantu Anda memahami dengan lebih baik.
Baca juga: Peraturan OJK Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan